Powered By Blogger

Sabtu, 12 Januari 2013

Tugas 101


wewenang gubernur
Kewenangan Gubernur
Dasar pemikiran dari Otonomi Daerah adalah bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian Otonomi Daerah adalah merupakan kebijaksanaan yang sangat sesuai dengan asas desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetap mengatur tentang pembagian kewenangan menjalankan urusan antara pemerintah pusat dan daerah. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan kewenangan pemerintah pusat .
Selain hal tersebut, pemerintah pusat juga berwenang mengurus hal-hal lain yang bersekala nasional dan tidak diserahkan kepada daerah. Melalui desentralisasi dan otonomi daerah pemerintah pusat menjamin bahwa pemerintah daerah akan menjalankan wewenangnya untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kecuali yang oleh undang-undang ditentukan menjadi kewenangan pemerintah pusat, setidaknya meliputi enam urusan tersebut diatas.
Adapun yang menjadi kewengan pemerintah daerah sebagaimana di sebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 13 untuk kewenangan Pemerintah Provoinsi dan Pasal 14 untuk kewenangan Pemerintah kabupaten /kota .Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh Pemerintah, Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan kabupaten/kota.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah Pemerintah melakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut:
Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri, Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota.
Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan selama ini pengawasan sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawasan fungsional dan struktural internal seperti BAWASDA (Badan Pengawas Daerah). Kantor inspektorat, BPKP, Kotak Pos 5000 akan tetapi lembaga-lembaga pengawasan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem yang sedang diawasi. Sehingga independensinya menjadi sangat tidak efektif. Budaya birokrasi di Indonesia yang masih kental dengan pengaruh nilai-nilai paternalistik antara lain menjadi ”biang kerok” yang menyebabakan mekanisme pengawasan yang dilakukan lembaga pengawasan internal menjadi tidak efektif.
Lembaga yang secara eksplisit dicantumkan dalam konstitusi memang melakukan pengawasan namun pada satu sisi substansi yang diawasi terlalu luas dan bersifat politis karena memang secara kelembagaan DPR/DPRD merupakan lembaga politik serta mewakili kelompok politiknya sehingga pengawasannya juga tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan kelompok yang mereka wakili. Sedangkan BPK pada satu sisi substansi yang diawasi cukup luas yaitu mengenai keuangan negara yang cakupannya sangat luas yaitu mengenai keuangan negara yang mencakup kebijakan ataupun pengelolaanya. Namun dari sisi lain juga dapat dikatakan terlalu sempit karena hanya mengenai segi keuangan negara saja, sementara aspek-aspek lain dalam penyelenggaraan negara belum tersentuh, apalagi kepentingan-kepentingan warga yang bersifat individual dan bukan merupakan penyimpangan sistem ataupun kebijakan, jelas belum terakomodasi.
Pengawasan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang ini telah berkembang pesat. Namun karena sifatnya swasta dan kurang terfokus sehingga lebih banyak ditanggapi dengan sikap ”acuh tak acuh”. Terlebih lagi pengawsan yang dilakukan sering kurang data dan lebih mengarah pada publikasi sehingga faktor akurasi dan keseimbangan fakta kurang memperoleh perhatian. Terdapat jarak antara aparat pemerintah dengan LSM yang disebabkan perbedaan landasan keberadaan mereka masing-masing.
Terkait dengan pengawasan masyarakat memiliki hak dan tempat untuk melakukan pengawasan, mengenai hubungan antara masyarakat dan penyelenggara negara yang mencakup tanggung jawab, wewenang serta hak dalam penyelenggaraan negara secara tegas telah diatur dalam UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pasal 3 ,8 ,9 .
Dalam setiap penyelenggaran pemerintahan tidak kalah pentingnya adalan isu tentang good governance. Penerapan good governance dalam kaitannya dengan konsepsi good governance adalah secara konseptual pengertian kata ”good” dalam istilah kepemerintahan yang baik mengandung dua pemahaman, Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan /kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.
Dari pengertian good governance, dapat disimpulkan bahwa: wujud good governance, adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang kontruktif diantara domain negara, sektor swasta dan masyarakat.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, merumuskan arti Good Governance adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
Dari kondisi seperti ini pemerintah daerah yang telah diberikan hak otonomi luas dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan diberi kewenangan untuk membentuk sebuah lembaga pengawas eksternal yang terjamin independesinya dan dapat mengawasi secara lebih efektif. Pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan kegiatan sesuai dengan rencana. Dikaitkan dengan hukum pemerintahan, pengawasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin sikap tindak pemerintah/aparat administrasi berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika dikaitkan dengan hukum tata negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Lembaga Ombudsman Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (LOD DIY)
Pada era Presiden B.J Habibie telah dilakukan langkah-langkah politik penting dan strategis bagi terwujudkan gagasan reformasi itu. Penghapusan sejumlah UU yang menyalahi cita-cita dasar pembentukan negara, anti demokrasi, dan hak asasi manusia, pelepasan tahanan politik adalah bukti nyata dari kemauan politik pemerintah merubah wajah Indonesia ke depan. Pemerintahan yang baru sadar benar bahwa langkah itulah satu-satunya cara untuk membongkar kerusakan dalam penegakan hukum, pemenuhan HAM dan demokrasi yang dibangun secara sistematis selama tiga dekade kekuasaan sebelumnya.
Meski pemerintahan Habibie hanya berlangsung singkat, tetapi penerusnya Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, telah diwarisi pijakan untuk meneruskan langkah-langkah besar reformasi dengan membentuk Lembaga Hukum Nasional (KHN), memperkuat peran Komnas HAM, membentuk UU Peradilan HAM, membentuk Komisi Ombudsman Nasional (KON), mendukung penuh amandemen UUD 1945 dan yang tidak kalah penting adalah dilakukannya usaha untuk memperkuat nuansa demokratis diberbagai sektor kehidupan berbangsa sehingga terbangun suasana yang sangat berbeda dibanding era-era sebelumnya. Begitu pula dengan Presiden Megawati yang tampil menggantikan Gus Dur telah pula memberi nuansa demokrasi yang lain lagi meski arahnya tetap dalam agenda reformasi.
Secara yuridis usaha untuk membangun pemerintahan yang baru berdasar visi reformasi dilakukan dengan menerbitkan beberapa aturan perundangan antara lain Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta TAP MPR No VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta secara implisit digariskan dalam amandemen I, II dan III Undang-undang Dasar 1945.
Sebagai payung hukum dan politik bagi perwujudan ide-ide atau gagasan-gagasan demokratisasi, penegakan supremasi hukum, penegakan HAM, pemerintahan yang baik dan bersih, maka kerangka di atas sudah cukup bagi sebuah pemerintahan yang baru lepas yang baru terlepas dari kekuasaan otoritarian. Tetapi sebuah kerangka akan tidak bermakna jika tidak segera diikuti dengan langkah-langkah atau kebijakan-kebijakan teknis yang lebih operasional di tingkat internal pemerintah sendiri serta pada saat yang sama dibuka seluas dan selebar mungkin akses publik bagi dilakukannya kontrol yang luas dan intensif terhadap jalannya pemerintahan. Kalau tidak, yang akan terjadi adalah pertarungan wacana dan perdebatan normatif yang tidak kunjung selesai, sementara kekacauan birokrasi terus berjalan tanpa bisa diketahui bagaimana menghentikannya
Sejarah pembentukan lembaga Ombudsman, adalah sejarah yang panjang, meski kata ”ombudsman” berasal dari Swedia, tapi keberadaan istilah ini telah digunakan hampir di semua negara yang mengadopsi lembaga tersebut. Pendek kata Ombudsman telah menjadi model dalam membantu memecahkan keresahan masyarakat berkaitan dengan pelayanan publik. Ombudsman adalah wadah untuk menjembatani kepentingan rakyat dan kepentingan pemerintah yang seringkali bertolak belakang. Ombudsman bukanlah pelaksana kekuasaan karena itu wewenang yang dimilikinya hanyalah mencakup aspek-aspek pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan atau penyelewengan.
Ombudsman tidak memiliki kepentingan dengan status kekuasaan, juga tidak berada di dalam pemerintahan, oleh karena itu memiliki kebebasan bertindak dalam menentukan pengawasan. Satu-satunya kesamaan antara Ombudsman dengan otoritas pemerintahan adalah misi kepentingannya untuk memberi kesejahteraan, ketertiban dan keadilan bagi masyarakat.
Melihat realitas tersebut Gubernur DIY mengeluarkan Surat keputusan Gubernur DIY Nomor 134 tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Ombudman Daerah di Propinsi DIY. Pendirian Lembaga Ombudsman di daerah mempunyai kepentingan untuk melakukan pengawasan terhadap birokrasi pemerintahan di tingkat daerah. Pembentukan Lembaga Ombudsman di daerah sebagai respon atas hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengawasan yang bersifat internal yang telah ada selama ini.
LOD-DIY sebagai lembaga pengawas eksternal tidak mempunyai hubungan hirarkis dengan lembaga pemerintahan dan lembaga negara lain di daerah. Kehadiran LOD-DIY diharapkan mampu memberikan solusi bagi perbaikan penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. LOD-DIY dirancang sebagai lembaga publik yang dapat memberi akses dan kontrol masyarakat dalam partisipasi pengawasan kinerja pelayanan publik dan atau dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan persoalan masyarakat dengan pemerintahan daerah.
Fungsi yang diemban oleh LOD-DIY adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan daerah serta penegakan hukum untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat agar dapat terselenggara dengan baik berdasarkan prinsip keadilan, persamaan dan prinsip-prinsip demokrasi.
Sebagai lembaga pengawasan, LOD-DIY merupakan lembaga pengawasan eksternal nonstruktural yang bersifat mandiri yang tidak memiliki hubungan struktural dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintah daerah. Artinya, lembaga ini bukan lembaga struktural, tapi lembaga fungsional yang diberi mandat oleh pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara di daerah, penyelenggaraan pemerintah daerah dan penyelenggaraan penegakan hukum.
Objek pengawasan LOD-DIY adalah penyimpangan-penyimpangan administrasi (maladministration) di bidang pelayanan publik yang terjadi dalam penyelenggaraan negara di daerah, penyelenggaraan pemerintah daerah, dan dalam penyelenggaraan penegakan hukum. Bentuk-bentuk maladministrasi adalah penyalahgunaan wewenang atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), penyimpangan prosedur, intervensi, pemalsuan/persekongkolan, memperkeruh perkara dan nyata-nyata berpihak, melalaikan kewajiban, penundaaan pelayanan berlarut, diskriminasi, dan pengabaian hak-hak masyarakat.

Berangkat dari fungsi tersebut, LOD-DIY dibebankan tugas untuk:
1. Menyebarluaskan pemahaman mengenai kedudukan, fungsi, tugas pokok dan wewenang Ombudsman Daerah kepada seluruh masyarakat di daerah.
2. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan berbagai lembaga negara, instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, para ahli dan praktisi dalam rangka mendorong dan mewujudkan penyelenggaraan negara dan pemerintahan daerah serta penegakan hukum yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan/jabatan dan tindakan sewenang-wenang.
3. Melayani keluhan, laporan atau informasi dari masyarakat atas keputusan, tindakan dan atau perilaku pejabat atau aparatur penyelenggara negara, pemerintah daerah, atau penegak hukum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang dirasakan tidak adil, diskriminatif, tidak patut, merugikan atau bertentangan dengan hukum.
4. Menindaklanjuti keluhan, laporan atau informasi dari masyarakat mengenai penyimpangan pelaksanaan penyelenggaraan negara, pemerintahan daerah dan penegakan hukum.

Untuk menjalankan tugasnya tersebut, LOD-DIY diberi wewenang antara lain:
1. Memanggil dan meminta keterangan secara lisan dan atau tertulis dari pihak pelapor, terlapor dan atau dari pihak lain yang terkait dengan suatu keluhan, laporan, atau informasi yang disampaikan kepada Ombudsman Daerah.
2. Memeriksa keputusan dan atau dokumen-dokumen lainnya yang ada pada pihak pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait, untuk mendapatkan kebenaran laporan, keluhan dan atau informasi.
3. Atas inisiatif sendiri memanggil dan meminta keterangan secara lisan dan atau tertulis, kepada penyelenggara negara, pemerintah daerah atau penegak hukum berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran terhadap asas-asas penyelenggaraan negara, pemerintahan daerah atau penegakan hukum yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan/jabatan dan tindakan sewenang-wenang.
4. Membuat rekomendasi atau usul-usul dalam rangka penyelesaian masalah antara pihak pelapor dan pihak terlapor serta pihak-pihak lainnya yang terkait.
5. Mengumumkan hasil temuan dan rekomendasi untuk diketahui oleh masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar