gabriel garcía márquez dan seratus tahun kesunyian
Dia seorang
pisces, dan di balik wajahnya yang tampak tenang dan selalu tersenyum,
cerita-cerita yang ia tulis kerap berbicara tentang prostitusi. Si gadis Eréndira yang dijual neneknya sendiri sebagai pemuas hasrat seks para lelaki.
Seorang kakek berusia 90 tahun yang ingin menghadiahi dirinya sebuah percintaan
liar dengan perawan. Pemuda patah hati yang melampiaskan kekesalannya dengan
bercinta bersama banyak perempuan. Dan seterusnya.
Ia adalah yang karya-karyanya
paling banyak saya baca ketika saya mulai belajar membaca karya-karya pemenang
Nobel Kesusastraan. Bukunya yang pertama saya baca adalah Innocent Eréndira and
other stories, lalu berturut-turut saya membaca Memories
of My Melancholy Whore, Chronicle of a Death Foretold, dan The General in His Labyrinth. Bukunya
yang paling populer, Love In the Time of
Cholera justru menjadi buku paling belakangan yang saya baca. Dan hingga
saat ini saya belum membaca One Hundred
Years of Solitude.
Cara bertuturnya
yang mendayu-dayu dan terkadang puitis, nuansa magis yang sesekali ia selipkan
dalam beberapa adegan, membuat saya begitu mudah tenggelam dalam kisah-kisah
yang ia tulis. Tak jarang saya dibuat takjub dengan absurditas kecil yang
tiba-tiba saja muncul dalam dunia nyata yang ia reka dalam buku-bukunya. Nenek
dari Eréndira
yang perutnya ditusuk pisau dan memuncratkan darah berwarna hijau, seorang lelaki
yang datang dari laut membawa wangi mawar dan bertumpuk-tumpuk uang, hanyalah
salah dua dari banyak keanehan yang menarik dalam cerita-cerita ciptaannya. Tak
heran jika ia disebut sebagai penulis pertama yang menciptakan genre baru dalam
dunia kesusastraan, mereka menyebut tulisan-tulisannya beraliran realisme
magis.
Saya tidak tahu
apakah di Colombia memang isu prostitusi menjadi permasalahan besar dan
menonjol, sebab di banyak cerita yang ia tulis selalu saja ada tokoh pelacur. Namun,
pelacur-pelacur yang muncul adalah pelacur-pelacur yang, bagaimana menyebutnya
ya-memiliki
karakter. Ya, mungkin itu agak bisa mewakili apa yang saya maksud. Dan
selalu ada tokoh laki-laki yang kesepian. Korban pembunuhan yang dibiarkan oleh
seisi kota pada Chronicle of a Death
Foretold, laki-laki kaya raya yang datang dari dunia antah berantah di
dalam sebuah cerpennya, pemuda yang kemudian dimanfaatkan untuk membunuh
seorang nenek dalam kisah Eréndira, seorang jendral dalam perjalanannya, dan seorang
pemuda patah hati dalam Love in The Time
of Cholera.
Semua tokoh
laki-laki itu membuat saya mengira, apakah sebetulnya mereka adalah bagian dari
diri ia sendiri? Apakah memang hidupnya seperti kisah-kisah yang ia tulis?
Karena pertanyaan
tersebut, saya mulai sedikit mencari tentang dirinya, si penulis. Lalu saya
menemukan sebuah kepingan kisah yang menceritakan tentang kehidupan keluarga
ayahnya. Ayahnya adalah seorang laki-laki pencinta yang kemudian jatuh hati
pada seorang perempuan. Perempuan tersebut nanti akan menjadi ibunya dan
melahirkan dirinya. Namun, kisah cinta ayah dan ibunya tidak semulus cara ia
bertutur dalam tulisan-tulisannya. Ayahnya ditentang habis-habisan oleh orang
tua ibunya (seorang kolonel) sebab ayahnya memiliki reputasi sebagai seorang
penjahat kelamin. Kisah cinta penuh kendala dari ayah-ibunya ini yang kemudian
ia tulis dalam Love in The Time of Cholera.
Dari buku-bukunya
yang saya baca, saya merasa ia ingin berkata bahwa manusia yang kesepian adalah
manusia yang tak memiliki cinta. Betapapun hidupmu dipenuhi kegembiraan hal-hal
lain, namun jika hatimu tak memiliki yang satu itu, kamu akan menjemput akhir
hidupmu dengan perasaan nelangsa. Itulah, barangkali, kesunyian yang saya
tangkap dari dirinya.
Mungkin, di alam
sana, ia akan mendapatkan seratus tahun kesunyian yang benar-benar ia inginkan.
Seratus tahun kesunyian bersama cinta.
Selamat jalan,
Gabriel García Márquez.
Selamat tersenyum
di tempat yang lebih indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar