Satu bulan
yang lalu, setelah terseok-seok menyelesaikan 1Q84, saya sudah mendeklarasikan bahwa saya tidak ingin membaca
lebih banyak lagi karya-karya Murakami. Setelah 1Q84,
saya merasa cukup. Saya sudah mengerti apa yang ingin Murakami tuturkan
lewat cerita-ceritanya. Saya sudah menangkap, sedikit banyak, bagaimana teknik menulisnya.
Saya merasa tidak ada lagi hal baru yang akan saya temukan jika saya
melanjutkan membaca buku-buku Murakami yang lain.
Namun,
tepat pada saat saya mendeklarasikan hal tersebut di Twitter, seorang teman berkata
kepada saya: “Jika kamu memutuskan untuk berhenti membaca Murakami tetapi kamu
belum membaca Kafka on the Shore dan Sputnik Sweetheart, aku sarankan kamu berpikir
ulang atas keputusanmu itu karena sudah pasti kamu telah melewatkan sesuatu.” Teman
saya itu memiliki daftar bacaan yang bagus di halaman Goodreads-nya, dan saya
percaya rekomendasi buku yang ia berikan.
Maka, hanya
berselang satu menit sejak peluncuraan deklarasi berhenti membaca Murakami, saya
melanjutkan pembacaan saya terhadap pengarang Jepang penggemar jazz itu. Demi
memenuhi rasa penasaran atas pernyataan teman saya tadi, saya mulai membaca Sputnik Sweetheart.
Butuh
kurang lebih dua minggu untuk menyelesaikan Sputnik
Sweetheart. Saya bisa katakan bahwa saya sudah terjerat oleh buku tersebut
sejak paragraf pertama. Tidak. Bahkan, sejak kalimat pertama.
In the spring of her twenty-second year,
Sumire fell in love for the first time in her life.
Dua hari
sebelum saya tiba di halaman terakhir Sputnik
Sweetheart, saya membaca sebuah artikel di internet tentang Stephen King.
Judul tulisan tersebut, jika saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
berbunyi: “Mengapa Stephen King Menghabiskan Waktu Berbulan-bulan untuk Menulis
Kalimat Pertama?”
Bagi saya,
artikel tersebut menarik. Mengapa ia membutuhkan waktu selama itu untuk menulis
kalimat pertama novelnya? Tentu saja, karena kalimat pertama itu penting.
Seorang penulis harus memiliki kemampuan menjerat perhatian pembacanya sejak
kalimat pertama. Kalau tidak, kemungkinan besar ia akan ditinggalkan. Meskipun
pada bagian pertengahan novelnya ia memiliki sesuatu yang luar biasa bagus dan
sangat penting untuk dibaca. Namun, jika ia tidak menarik sejak awal, pembaca
takkan bermurah hati untuk menyediakan waktunya bersabar membaca hingga
pertengahan atau akhir. Mungkin beberapa pembaca dapat bersabar, tapi saya
punya firasat bahwa tidak banyak pembaca seperti itu.
Ketika
membaca paragraf pertama Sputnik
Sweetheart, saya teringat paragraf pertama legendaris milik Franz Kafka, di
bukunya Metamorphosis. Seperti yang
mungkin telah diketahui orang banyak (atau setidaknya para penggemar Haruki
Murakami seperti saya) Murakami sangat terinspirasi oleh Kafka. Di antara
bukti-buktinya adalah, ia menulis buku berjudul Kafka on the Shore dan sebuah
cerita pendek yang dipublikasikan di majalah The New Yorker berjudul Samsa in Love.
Paragraf
pembuka di Metamorphosis menjadi
legendaris, saya kira, karena ia memiliki kemampuan menjerat pembacanya. Bagaimana
kamu membayangkan seseorang bangun dari tidurnya dan mendapati dirinya menjadi
seekor serangga besar. Seketika, imajinasi langsung terpancing, dan membuat
pembaca bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan si tokoh utama? Bagaimana dia
bisa menjelma seekor serangga? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memunculkan rasa
penasaran sehingga pembaca melanjutkan membaca paragraf-paragraf dan
halaman-halaman berikutnya.
Efek jerat
inilah yang saya rasakan ketika saya membaca paragraf pembuka Sputnik Sweetheart. Dengan kalimat
pertama yang cukup umum, Murakami membentuk paragraf pembuka memakai kalimat-kalimat
lanjutan yang membuat masalah langsung terlihat dan meruncing, dan mengagetkan.
In the spring of her twenty-second year,
Sumire fell in love for the first time in her life. An intense love, a
veritable tornado sweeping across the plains-flattening
everything on its path, tossing things up in the air, ripping them to shreds,
crushing them to bits. The tornado’s intensity doesn’t abate for a second as it
blasts across the ocean, laying waste to Angkor Wat, incinerating an Indian
jungle, tigers and all, transforming itself into a Persian desert sandstorm,
burying an exotic fortress city under a sea of sand. In short, a love of truly
monumental proportions. The person she fell in love with happened to be
seventeen years older than Sumire. And was married. And, I should add, was a
woman. This is where it all began, and where it all wound up. Almost.
Perhatikan bagaimana Murakami melemparkan jerat pada paragraf
pembukanya. Sumire jatuh cinta untuk yang pertama kali dalam hidupnya, dan
ternyata yang ia cintai adalah perempuan berusia tujuh belas tahun lebih tua
dan telah menikah. Semua kalimat itu mengandung masalah, dan cara terbaik untuk
menjerat pembaca adalah menawarkan masalah sejak permulaan. Itulah yang
dilakukan Murakami sehingga saya tertarik untuk membaca halaman-halaman
berikutnya dari Sputnik Sweetheart.
Murakami
hampir selalu meninggalkan jejak-jejak buku yang ia baca di dalam buku-bukunya
sendiri. Menurut saya, penting bagi seorang pembaca (atau penulis) mengetahui sumber
bacaan pengarang favoritnya. Tidak sulit untuk mengetahui sumber bacaan
Murakami karena ia kerap mencantumkan nama-nama seperti Fyodor Dostoevsky, Joseph
Conrad, Charles Dickens, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar