Setelah
membaca Animal Farm George Orwell, saya
kemudian mencari-cari buku lain tentang binatang. Lalu ketemulah buku ini. Saya
tahu judul buku ini dari sebuah tulisan di blog Eka Kurniawan. Saya senang
mencari tahu buku-buku apa saja yang dibaca oleh pengarang favorit saya. Dan
saya senang melihat pengarang yang tak pelit berbagi sumber bacaannya.
Maka saya
menemukan buku ini di Aksara Citos, Jakarta. Judulnya The Hen Who Dreamed She Could Fly, ditulis oleh seorang pengarang
perempuan berkebangsaan Korea bernama Sun-mi Hwang. Ceritanya terbilang
sederhana. Tentang seekor ayam betina petelur bernama Sprout yang juga memiliki
cita-cita sederhana. Ia ingin menetaskan telur. Hanya itu keinginannya dalam
hidup yang serba singkat dan fana ini. Menetaskan telur.
Sprout si
ayam petelur sedih melihat dirinya yang tak pernah bisa menetaskan telur
seperti ayam-ayam betina lain. Setiap ia bertelur, telurnya langsung jatuh ke
saluran pipa dan diambil oleh peternak untuk dijual atau dimakan. Bagaimana
bisa mengeram dan menetaskan telur, Sprout bahkan tidak mendapatkan kesempatan
untuk melihat dan menyentuh telur-telurnya sendiri.
Maka,
Sprout melakukan perlawanan. “I refuse to
lay another egg!” katanya. Karena dia tidak sudi lagi melihat
telur-telurnya hanya menjadi santapan atau komoditas manusia, sementara ia semakin
hari semakin kehilangan jati dirinya sebagai seekor ayam betina. Lebih-lebih
lagi, sebagai seorang ibu. Ia sadar takkan memiliki kesempatan untuk memiliki
seekor anak, karena telur-telurnya pun steril (entah apakah Sprout mengetahui
hal ini atau tidak, tidak digambarkan).
Tetapi
apapun itu, mimpi adalah mimpi dan perlawanan adalah perlawanan. Karena Sprout
menolak untuk makan dan minum, maka semakin hari telurnya semakin kecil dan
berkualitas buruk. Peternak mengamati itu dan memutuskan Sprout tidak bermutu
lagi dan layak dimusnahkan. Sprout, bersama ayam-ayam lain yang sakit, dibuang
ke Lubang Kematian, dan diumpankan
kepada seekor weasel, makhluk semacam
tupai yang memakan unggas kecil. Seluruh ayam tewas, kecuali Sprout. Ia selamat
karena saat ia pingsan tertindih ayam-ayam, ia mendengar sayup-sayup suara
memanggilnya untuk keluar dari lubang, dan ia menuruti suara itu.
Suara itu
berasal dari seekor bebek jantan bernama Straggler. Di kemudian hari, Straggler
menjadi sahabat Sprout. Sprout mengikuti Straggler ke kandang, namun kehadiran
Sprout ditolak seisi kandang. Di kandang itu ada anjing penjaga yang sudah tua,
seekor ayam jantan (tadinya Sprout begitu mengagumi ayam jantan ini, namun
karena melihat sikapnya, dia jadi ilfil) dan istrinya ayam jantan, si ayam
betina yang teramat cantik namun judes.
Ketika
Sprout pada akhirnya terpaksa pergi dari kandang dan dia tak ingin kembali ke
tempatnya, ia melanglangbuana sehingga tiba di sebuah tempat dan melihat
sesuatu yang membuatnya terpana. Sebutir telur tak bertuan. Ia
celingak-celinguk melihat sekeliling dan tak menemukan ibu si telur. Dengan
ragu-ragu dan dada berdebar kencang, dia melangkah mendekati telur dan duduk di
atas telur itu, mengeraminya.
Cara
bercerita Sun-mi Hwang sangat sederhana, sama sederhananya seperti keinginan
Sprout. The Hen Who Dreamed She Could Fly
adalah buku pertama dari pengarang Korea yang saya baca. Belakangan ini
saya sedang tertarik membaca buku-buku pengarang Asia. Jepang, Cina, Korea, dan
India. Terakhir saya membeli tiga buku pengarang klasik Jepang. Dari Cina saya
baru membaca Mo Yan. Bukan bukunya yang diunggulkan seperti Red Shorgum atau Republic of Wine, melainkan saya membaca Di Bawah Kibaran Bendera Merah, sebuah novel tipis semi-otobiografi
versi terjemahan Indonesia. Dari India saya menyimpan beberapa buku Jhumpa
Lahiri, tapi karena kemalasan saya, buku-buku itu juga belum saya baca.
The Hen Who Dreamed She Could Fly, Sun-mi Hwang
Salah satu
keunggulan fabel (yang baik) adalah ia bercerita tanpa menggurui atau mendikte.
Dalam kasus Sun-mi Hwang, saya betul-betul menikmati membaca The Hen Who Dreamed She Could Fly seolah
saya sedang didongengi oleh ibu atau nenek saya (meskipun sebetulnya ibu dan
nenek saya tidak pernah mendongengi saya). Ketika membaca buku ini, tiba-tiba
saja saya merasa memiliki seorang nenek yang senang mendongeng. Saya
membayangkan Sun-mi Hwang sendiri yang membacakan cerita tentang Sprout si ayam
petelur kepada saya, saat saya sedang berada di ambang antara melek dan tidur.
Namun, di
dalam plot yang saya kira sederhana, ternyata Sun-mi Hwang menyimpan adegan-adegan
yang mengejutkan. Hingga mendekati akhir cerita, saya masih belum bisa
menemukan ada hubungan apa antara judul buku dan isinya. The Hen Who Dreamed She Could Fly? Sejak awal sudah ditunjukkan
kepada pembaca bahwa impian terbesar Sprout adalah menetaskan telur. Lalu ada
apa dengan keinginan untuk terbang? Sprout bahkan tidak pernah menyebut-nyebut
bahwa ia ingin terbang. Hingga akhirnya saya sampai di penghujung cerita dan
barulah saya menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Kenapa Sprout ingin bisa terbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar