Powered By Blogger

Kamis, 08 Mei 2014

gabriel garcía márquez dan seratus tahun kesunyian




Dia seorang pisces, dan di balik wajahnya yang tampak tenang dan selalu tersenyum, cerita-cerita yang ia tulis kerap berbicara tentang prostitusi. Si gadis Eréndira yang dijual neneknya sendiri sebagai pemuas hasrat seks para lelaki. Seorang kakek berusia 90 tahun yang ingin menghadiahi dirinya sebuah percintaan liar dengan perawan. Pemuda patah hati yang melampiaskan kekesalannya dengan bercinta bersama banyak perempuan. Dan seterusnya.
Ia adalah yang karya-karyanya paling banyak saya baca ketika saya mulai belajar membaca karya-karya pemenang Nobel Kesusastraan. Bukunya yang pertama saya baca adalah Innocent Eréndira and other stories, lalu berturut-turut saya membaca Memories of My Melancholy Whore, Chronicle of a Death Foretold, dan The General in His Labyrinth. Bukunya yang paling populer, Love In the Time of Cholera justru menjadi buku paling belakangan yang saya baca. Dan hingga saat ini saya belum membaca One Hundred Years of Solitude.
Cara bertuturnya yang mendayu-dayu dan terkadang puitis, nuansa magis yang sesekali ia selipkan dalam beberapa adegan, membuat saya begitu mudah tenggelam dalam kisah-kisah yang ia tulis. Tak jarang saya dibuat takjub dengan absurditas kecil yang tiba-tiba saja muncul dalam dunia nyata yang ia reka dalam buku-bukunya. Nenek dari Eréndira yang perutnya ditusuk pisau dan memuncratkan darah berwarna hijau, seorang lelaki yang datang dari laut membawa wangi mawar dan bertumpuk-tumpuk uang, hanyalah salah dua dari banyak keanehan yang menarik dalam cerita-cerita ciptaannya. Tak heran jika ia disebut sebagai penulis pertama yang menciptakan genre baru dalam dunia kesusastraan, mereka menyebut tulisan-tulisannya beraliran realisme magis.
Saya tidak tahu apakah di Colombia memang isu prostitusi menjadi permasalahan besar dan menonjol, sebab di banyak cerita yang ia tulis selalu saja ada tokoh pelacur. Namun, pelacur-pelacur yang muncul adalah pelacur-pelacur yang, bagaimana menyebutnya ya-memiliki karakter. Ya, mungkin itu agak bisa mewakili apa yang saya maksud. Dan selalu ada tokoh laki-laki yang kesepian. Korban pembunuhan yang dibiarkan oleh seisi kota pada Chronicle of a Death Foretold, laki-laki kaya raya yang datang dari dunia antah berantah di dalam sebuah cerpennya, pemuda yang kemudian dimanfaatkan untuk membunuh seorang nenek dalam kisah Eréndira, seorang jendral dalam perjalanannya, dan seorang pemuda patah hati dalam Love in The Time of Cholera.
Semua tokoh laki-laki itu membuat saya mengira, apakah sebetulnya mereka adalah bagian dari diri ia sendiri? Apakah memang hidupnya seperti kisah-kisah yang ia tulis?
Karena pertanyaan tersebut, saya mulai sedikit mencari tentang dirinya, si penulis. Lalu saya menemukan sebuah kepingan kisah yang menceritakan tentang kehidupan keluarga ayahnya. Ayahnya adalah seorang laki-laki pencinta yang kemudian jatuh hati pada seorang perempuan. Perempuan tersebut nanti akan menjadi ibunya dan melahirkan dirinya. Namun, kisah cinta ayah dan ibunya tidak semulus cara ia bertutur dalam tulisan-tulisannya. Ayahnya ditentang habis-habisan oleh orang tua ibunya (seorang kolonel) sebab ayahnya memiliki reputasi sebagai seorang penjahat kelamin. Kisah cinta penuh kendala dari ayah-ibunya ini yang kemudian ia tulis dalam Love in The Time of Cholera.
Dari buku-bukunya yang saya baca, saya merasa ia ingin berkata bahwa manusia yang kesepian adalah manusia yang tak memiliki cinta. Betapapun hidupmu dipenuhi kegembiraan hal-hal lain, namun jika hatimu tak memiliki yang satu itu, kamu akan menjemput akhir hidupmu dengan perasaan nelangsa. Itulah, barangkali, kesunyian yang saya tangkap dari dirinya.
Mungkin, di alam sana, ia akan mendapatkan seratus tahun kesunyian yang benar-benar ia inginkan. Seratus tahun kesunyian bersama cinta.
Selamat jalan, Gabriel García Márquez.
Selamat tersenyum di tempat yang lebih indah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar