Powered By Blogger

Kamis, 08 Mei 2014

Setelah membaca Animal Farm George Orwell, saya kemudian mencari-cari buku lain tentang binatang. Lalu ketemulah buku ini. Saya tahu judul buku ini dari sebuah tulisan di blog Eka Kurniawan. Saya senang mencari tahu buku-buku apa saja yang dibaca oleh pengarang favorit saya. Dan saya senang melihat pengarang yang tak pelit berbagi sumber bacaannya.
Maka saya menemukan buku ini di Aksara Citos, Jakarta. Judulnya The Hen Who Dreamed She Could Fly, ditulis oleh seorang pengarang perempuan berkebangsaan Korea bernama Sun-mi Hwang. Ceritanya terbilang sederhana. Tentang seekor ayam betina petelur bernama Sprout yang juga memiliki cita-cita sederhana. Ia ingin menetaskan telur. Hanya itu keinginannya dalam hidup yang serba singkat dan fana ini. Menetaskan telur.
Sprout si ayam petelur sedih melihat dirinya yang tak pernah bisa menetaskan telur seperti ayam-ayam betina lain. Setiap ia bertelur, telurnya langsung jatuh ke saluran pipa dan diambil oleh peternak untuk dijual atau dimakan. Bagaimana bisa mengeram dan menetaskan telur, Sprout bahkan tidak mendapatkan kesempatan untuk melihat dan menyentuh telur-telurnya sendiri.
Maka, Sprout melakukan perlawanan. “I refuse to lay another egg!” katanya. Karena dia tidak sudi lagi melihat telur-telurnya hanya menjadi santapan atau komoditas manusia, sementara ia semakin hari semakin kehilangan jati dirinya sebagai seekor ayam betina. Lebih-lebih lagi, sebagai seorang ibu. Ia sadar takkan memiliki kesempatan untuk memiliki seekor anak, karena telur-telurnya pun steril (entah apakah Sprout mengetahui hal ini atau tidak, tidak digambarkan).
Tetapi apapun itu, mimpi adalah mimpi dan perlawanan adalah perlawanan. Karena Sprout menolak untuk makan dan minum, maka semakin hari telurnya semakin kecil dan berkualitas buruk. Peternak mengamati itu dan memutuskan Sprout tidak bermutu lagi dan layak dimusnahkan. Sprout, bersama ayam-ayam lain yang sakit, dibuang ke Lubang Kematian, dan diumpankan kepada seekor weasel, makhluk semacam tupai yang memakan unggas kecil. Seluruh ayam tewas, kecuali Sprout. Ia selamat karena saat ia pingsan tertindih ayam-ayam, ia mendengar sayup-sayup suara memanggilnya untuk keluar dari lubang, dan ia menuruti suara itu.
Suara itu berasal dari seekor bebek jantan bernama Straggler. Di kemudian hari, Straggler menjadi sahabat Sprout. Sprout mengikuti Straggler ke kandang, namun kehadiran Sprout ditolak seisi kandang. Di kandang itu ada anjing penjaga yang sudah tua, seekor ayam jantan (tadinya Sprout begitu mengagumi ayam jantan ini, namun karena melihat sikapnya, dia jadi ilfil) dan istrinya ayam jantan, si ayam betina yang teramat cantik namun judes.
Ketika Sprout pada akhirnya terpaksa pergi dari kandang dan dia tak ingin kembali ke tempatnya, ia melanglangbuana sehingga tiba di sebuah tempat dan melihat sesuatu yang membuatnya terpana. Sebutir telur tak bertuan. Ia celingak-celinguk melihat sekeliling dan tak menemukan ibu si telur. Dengan ragu-ragu dan dada berdebar kencang, dia melangkah mendekati telur dan duduk di atas telur itu, mengeraminya.
Cara bercerita Sun-mi Hwang sangat sederhana, sama sederhananya seperti keinginan Sprout. The Hen Who Dreamed She Could Fly adalah buku pertama dari pengarang Korea yang saya baca. Belakangan ini saya sedang tertarik membaca buku-buku pengarang Asia. Jepang, Cina, Korea, dan India. Terakhir saya membeli tiga buku pengarang klasik Jepang. Dari Cina saya baru membaca Mo Yan. Bukan bukunya yang diunggulkan seperti Red Shorgum atau Republic of Wine, melainkan saya membaca Di Bawah Kibaran Bendera Merah, sebuah novel tipis semi-otobiografi versi terjemahan Indonesia. Dari India saya menyimpan beberapa buku Jhumpa Lahiri, tapi karena kemalasan saya, buku-buku itu juga belum saya baca.
The Hen Who Dreamed She Could Fly, Sun-mi Hwang
Salah satu keunggulan fabel (yang baik) adalah ia bercerita tanpa menggurui atau mendikte. Dalam kasus Sun-mi Hwang, saya betul-betul menikmati membaca The Hen Who Dreamed She Could Fly seolah saya sedang didongengi oleh ibu atau nenek saya (meskipun sebetulnya ibu dan nenek saya tidak pernah mendongengi saya). Ketika membaca buku ini, tiba-tiba saja saya merasa memiliki seorang nenek yang senang mendongeng. Saya membayangkan Sun-mi Hwang sendiri yang membacakan cerita tentang Sprout si ayam petelur kepada saya, saat saya sedang berada di ambang antara melek dan tidur.
Namun, di dalam plot yang saya kira sederhana, ternyata Sun-mi Hwang menyimpan adegan-adegan yang mengejutkan. Hingga mendekati akhir cerita, saya masih belum bisa menemukan ada hubungan apa antara judul buku dan isinya. The Hen Who Dreamed She Could Fly? Sejak awal sudah ditunjukkan kepada pembaca bahwa impian terbesar Sprout adalah menetaskan telur. Lalu ada apa dengan keinginan untuk terbang? Sprout bahkan tidak pernah menyebut-nyebut bahwa ia ingin terbang. Hingga akhirnya saya sampai di penghujung cerita dan barulah saya menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Kenapa Sprout ingin bisa terbang.
The Hen Who Dreamed She Could Fly bukan fabel biasa. Pengarangnya bertutur dengan sederhana, dengan suara yang pelan dan teratur, plot dan tokoh-tokoh yang sederhana, membuat saya menyangka cerita akan berakhir sederhana pula, lalu tiba-tiba saya dikagetkan dengan satu adegan yang tak pernah saya kira datangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar