Powered By Blogger

Kamis, 08 Mei 2014

Satu bulan yang lalu, setelah terseok-seok menyelesaikan 1Q84, saya sudah mendeklarasikan bahwa saya tidak ingin membaca lebih banyak lagi karya-karya Murakami. Setelah 1Q84, saya merasa cukup. Saya sudah mengerti apa yang ingin Murakami tuturkan lewat cerita-ceritanya. Saya sudah menangkap, sedikit banyak, bagaimana teknik menulisnya. Saya merasa tidak ada lagi hal baru yang akan saya temukan jika saya melanjutkan membaca buku-buku Murakami yang lain.
Namun, tepat pada saat saya mendeklarasikan hal tersebut di Twitter, seorang teman berkata kepada saya: “Jika kamu memutuskan untuk berhenti membaca Murakami tetapi kamu belum membaca Kafka on the Shore dan Sputnik Sweetheart, aku sarankan kamu berpikir ulang atas keputusanmu itu karena sudah pasti kamu telah melewatkan sesuatu.” Teman saya itu memiliki daftar bacaan yang bagus di halaman Goodreads-nya, dan saya percaya rekomendasi buku yang ia berikan.
Maka, hanya berselang satu menit sejak peluncuraan deklarasi berhenti membaca Murakami, saya melanjutkan pembacaan saya terhadap pengarang Jepang penggemar jazz itu. Demi memenuhi rasa penasaran atas pernyataan teman saya tadi, saya mulai membaca Sputnik Sweetheart.
Butuh kurang lebih dua minggu untuk menyelesaikan Sputnik Sweetheart. Saya bisa katakan bahwa saya sudah terjerat oleh buku tersebut sejak paragraf pertama. Tidak. Bahkan, sejak kalimat pertama.
In the spring of her twenty-second year, Sumire fell in love for the first time in her life.
Dua hari sebelum saya tiba di halaman terakhir Sputnik Sweetheart, saya membaca sebuah artikel di internet tentang Stephen King. Judul tulisan tersebut, jika saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berbunyi: “Mengapa Stephen King Menghabiskan Waktu Berbulan-bulan untuk Menulis Kalimat Pertama?”
Bagi saya, artikel tersebut menarik. Mengapa ia membutuhkan waktu selama itu untuk menulis kalimat pertama novelnya? Tentu saja, karena kalimat pertama itu penting. Seorang penulis harus memiliki kemampuan menjerat perhatian pembacanya sejak kalimat pertama. Kalau tidak, kemungkinan besar ia akan ditinggalkan. Meskipun pada bagian pertengahan novelnya ia memiliki sesuatu yang luar biasa bagus dan sangat penting untuk dibaca. Namun, jika ia tidak menarik sejak awal, pembaca takkan bermurah hati untuk menyediakan waktunya bersabar membaca hingga pertengahan atau akhir. Mungkin beberapa pembaca dapat bersabar, tapi saya punya firasat bahwa tidak banyak pembaca seperti itu.
Ketika membaca paragraf pertama Sputnik Sweetheart, saya teringat paragraf pertama legendaris milik Franz Kafka, di bukunya Metamorphosis. Seperti yang mungkin telah diketahui orang banyak (atau setidaknya para penggemar Haruki Murakami seperti saya) Murakami sangat terinspirasi oleh Kafka. Di antara bukti-buktinya adalah, ia menulis buku berjudul Kafka on the Shore dan sebuah cerita pendek yang dipublikasikan di majalah The New Yorker berjudul Samsa in Love.
Paragraf pembuka di Metamorphosis menjadi legendaris, saya kira, karena ia memiliki kemampuan menjerat pembacanya. Bagaimana kamu membayangkan seseorang bangun dari tidurnya dan mendapati dirinya menjadi seekor serangga besar. Seketika, imajinasi langsung terpancing, dan membuat pembaca bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan si tokoh utama? Bagaimana dia bisa menjelma seekor serangga? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memunculkan rasa penasaran sehingga pembaca melanjutkan membaca paragraf-paragraf dan halaman-halaman berikutnya.
Efek jerat inilah yang saya rasakan ketika saya membaca paragraf pembuka Sputnik Sweetheart. Dengan kalimat pertama yang cukup umum, Murakami membentuk paragraf pembuka memakai kalimat-kalimat lanjutan yang membuat masalah langsung terlihat dan meruncing, dan mengagetkan.
In the spring of her twenty-second year, Sumire fell in love for the first time in her life. An intense love, a veritable tornado sweeping across the plains-flattening everything on its path, tossing things up in the air, ripping them to shreds, crushing them to bits. The tornado’s intensity doesn’t abate for a second as it blasts across the ocean, laying waste to Angkor Wat, incinerating an Indian jungle, tigers and all, transforming itself into a Persian desert sandstorm, burying an exotic fortress city under a sea of sand. In short, a love of truly monumental proportions. The person she fell in love with happened to be seventeen years older than Sumire. And was married. And, I should add, was a woman. This is where it all began, and where it all wound up. Almost.
Perhatikan bagaimana Murakami melemparkan jerat pada paragraf pembukanya. Sumire jatuh cinta untuk yang pertama kali dalam hidupnya, dan ternyata yang ia cintai adalah perempuan berusia tujuh belas tahun lebih tua dan telah menikah. Semua kalimat itu mengandung masalah, dan cara terbaik untuk menjerat pembaca adalah menawarkan masalah sejak permulaan. Itulah yang dilakukan Murakami sehingga saya tertarik untuk membaca halaman-halaman berikutnya dari Sputnik Sweetheart.
Murakami hampir selalu meninggalkan jejak-jejak buku yang ia baca di dalam buku-bukunya sendiri. Menurut saya, penting bagi seorang pembaca (atau penulis) mengetahui sumber bacaan pengarang favoritnya. Tidak sulit untuk mengetahui sumber bacaan Murakami karena ia kerap mencantumkan nama-nama seperti Fyodor Dostoevsky, Joseph Conrad, Charles Dickens, dan lain-lain.
Yang saya belum tahu adalah, apakah Murakami juga menggemari Hemingway? Saya bertanya demikian karena saat membaca Sputnik Sweetheart saya menemukan Hemingway dalam dialog-dialog yang ditulis Murakami. Hemingway terkenal dengan dialog-dialognya yang kuat, begitu pula Murakami. Cara murakami menulis dialog-dialog dalam novelnya terlihat oleh saya sebagai suatu usaha mengawinkan Hemingway dan Kafka, sesuatu yang unik dan absurditas yang mencengangkan. Dan itu adalah jerat lain yang dipasang Murakami untuk para pembacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar