wewenang
gubernur
Kewenangan Gubernur
Dasar pemikiran dari Otonomi Daerah adalah bahwa Negara Indonesia merupakan
Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Dalam penyelenggaraan
Pemerintahan harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada daerah
untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian Otonomi Daerah adalah
merupakan kebijaksanaan yang sangat sesuai dengan asas desentralisasi dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Daerah untuk mengurus
rumah tangganya sendiri Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetap mengatur
tentang pembagian kewenangan menjalankan urusan antara pemerintah pusat dan
daerah. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan kewenangan
pemerintah pusat .
Selain hal tersebut, pemerintah pusat juga berwenang mengurus hal-hal lain yang
bersekala nasional dan tidak diserahkan kepada daerah. Melalui desentralisasi
dan otonomi daerah pemerintah pusat menjamin bahwa pemerintah daerah akan
menjalankan wewenangnya untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah kecuali yang oleh undang-undang ditentukan menjadi
kewenangan pemerintah pusat, setidaknya meliputi enam urusan tersebut diatas.
Adapun yang menjadi kewengan pemerintah daerah sebagaimana di sebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 13 untuk kewenangan Pemerintah
Provoinsi dan Pasal 14 untuk kewenangan Pemerintah kabupaten /kota .Pembinaan
atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah untuk mewujudkan
tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh
Pemerintah, Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan
pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang
dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk pembinaan dan pengawasan
provinsi serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan
kabupaten/kota.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan
dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah
Pemerintah melakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut:
Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap
rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD,
dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh
Menteri, Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap
Raperda kabupaten/kota.
Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai
daya guna dan hasil guna yang optimal.
Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk dalam angka 1,
yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri
untuk provinsi dan Gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi.
Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemerintah dapat
menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan
adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah
tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu
daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan
berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala
daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi
pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan selama ini pengawasan sudah dilakukan oleh
lembaga-lembaga pengawasan fungsional dan struktural internal seperti BAWASDA
(Badan Pengawas Daerah). Kantor inspektorat, BPKP, Kotak Pos 5000 akan tetapi
lembaga-lembaga pengawasan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem yang sedang diawasi. Sehingga independensinya menjadi sangat tidak
efektif. Budaya birokrasi di Indonesia yang masih kental dengan pengaruh
nilai-nilai paternalistik antara lain menjadi ”biang kerok” yang menyebabakan
mekanisme pengawasan yang dilakukan lembaga pengawasan internal menjadi tidak
efektif.
Lembaga yang secara eksplisit dicantumkan dalam konstitusi memang melakukan
pengawasan namun pada satu sisi substansi yang diawasi terlalu luas dan
bersifat politis karena memang secara kelembagaan DPR/DPRD merupakan lembaga
politik serta mewakili kelompok politiknya sehingga pengawasannya juga tidak
terlepas dari kepentingan-kepentingan kelompok yang mereka wakili. Sedangkan
BPK pada satu sisi substansi yang diawasi cukup luas yaitu mengenai keuangan
negara yang cakupannya sangat luas yaitu mengenai keuangan negara yang mencakup
kebijakan ataupun pengelolaanya. Namun dari sisi lain juga dapat dikatakan
terlalu sempit karena hanya mengenai segi keuangan negara saja, sementara
aspek-aspek lain dalam penyelenggaraan negara belum tersentuh, apalagi
kepentingan-kepentingan warga yang bersifat individual dan bukan merupakan penyimpangan
sistem ataupun kebijakan, jelas belum terakomodasi.
Pengawasan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang ini telah berkembang pesat.
Namun karena sifatnya swasta dan kurang terfokus sehingga lebih banyak
ditanggapi dengan sikap ”acuh tak acuh”. Terlebih lagi pengawsan yang dilakukan
sering kurang data dan lebih mengarah pada publikasi sehingga faktor akurasi
dan keseimbangan fakta kurang memperoleh perhatian. Terdapat jarak antara
aparat pemerintah dengan LSM yang disebabkan perbedaan landasan keberadaan
mereka masing-masing.
Terkait dengan pengawasan masyarakat memiliki hak dan tempat untuk melakukan
pengawasan, mengenai hubungan antara masyarakat dan penyelenggara negara yang
mencakup tanggung jawab, wewenang serta hak dalam penyelenggaraan negara secara
tegas telah diatur dalam UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pasal 3 ,8 ,9 .
Dalam setiap penyelenggaran pemerintahan tidak kalah pentingnya adalan isu
tentang good governance. Penerapan good governance dalam kaitannya dengan
konsepsi good governance adalah secara konseptual pengertian kata ”good” dalam
istilah kepemerintahan yang baik mengandung dua pemahaman, Pertama, nilai yang
menjunjung tinggi keinginan /kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian,
pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari
pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai
tujuan tersebut.
Dari pengertian good governance, dapat disimpulkan bahwa: wujud good
governance, adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan
bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan”
interaksi yang kontruktif diantara domain negara, sektor swasta dan
masyarakat.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, merumuskan arti Good Governance
adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip
profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi,
efisiensi, efektifitas, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh
masyarakat.
Dari kondisi seperti ini pemerintah daerah yang telah diberikan hak otonomi
luas dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan diberi kewenangan untuk
membentuk sebuah lembaga pengawas eksternal yang terjamin independesinya dan
dapat mengawasi secara lebih efektif. Pengawasan berarti suatu kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan kegiatan sesuai dengan rencana.
Dikaitkan dengan hukum pemerintahan, pengawasan dapat diartikan sebagai suatu
kegiatan yang ditujukan untuk menjamin sikap tindak pemerintah/aparat
administrasi berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika dikaitkan dengan
hukum tata negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk
menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga kenegaraan
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Lembaga Ombudsman Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (LOD DIY)
Pada era Presiden B.J Habibie telah dilakukan langkah-langkah politik penting
dan strategis bagi terwujudkan gagasan reformasi itu. Penghapusan sejumlah UU
yang menyalahi cita-cita dasar pembentukan negara, anti demokrasi, dan hak
asasi manusia, pelepasan tahanan politik adalah bukti nyata dari kemauan
politik pemerintah merubah wajah Indonesia ke depan. Pemerintahan yang baru
sadar benar bahwa langkah itulah satu-satunya cara untuk membongkar kerusakan
dalam penegakan hukum, pemenuhan HAM dan demokrasi yang dibangun secara
sistematis selama tiga dekade kekuasaan sebelumnya.
Meski pemerintahan Habibie hanya berlangsung singkat, tetapi penerusnya
Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, telah diwarisi pijakan untuk meneruskan
langkah-langkah besar reformasi dengan membentuk Lembaga Hukum Nasional (KHN),
memperkuat peran Komnas HAM, membentuk UU Peradilan HAM, membentuk Komisi
Ombudsman Nasional (KON), mendukung penuh amandemen UUD 1945 dan yang tidak
kalah penting adalah dilakukannya usaha untuk memperkuat nuansa demokratis
diberbagai sektor kehidupan berbangsa sehingga terbangun suasana yang sangat
berbeda dibanding era-era sebelumnya. Begitu pula dengan Presiden Megawati yang
tampil menggantikan Gus Dur telah pula memberi nuansa demokrasi yang lain lagi
meski arahnya tetap dalam agenda reformasi.
Secara yuridis usaha untuk membangun pemerintahan yang baru berdasar visi
reformasi dilakukan dengan menerbitkan beberapa aturan perundangan antara lain
Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta TAP MPR No VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, UU
Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta secara
implisit digariskan dalam amandemen I, II dan III Undang-undang Dasar 1945.
Sebagai payung hukum dan politik bagi perwujudan ide-ide atau gagasan-gagasan
demokratisasi, penegakan supremasi hukum, penegakan HAM, pemerintahan yang baik
dan bersih, maka kerangka di atas sudah cukup bagi sebuah pemerintahan yang
baru lepas yang baru terlepas dari kekuasaan otoritarian. Tetapi sebuah
kerangka akan tidak bermakna jika tidak segera diikuti dengan langkah-langkah
atau kebijakan-kebijakan teknis yang lebih operasional di tingkat internal
pemerintah sendiri serta pada saat yang sama dibuka seluas dan selebar mungkin
akses publik bagi dilakukannya kontrol yang luas dan intensif terhadap jalannya
pemerintahan. Kalau tidak, yang akan terjadi adalah pertarungan wacana dan
perdebatan normatif yang tidak kunjung selesai, sementara kekacauan birokrasi
terus berjalan tanpa bisa diketahui bagaimana menghentikannya
Sejarah pembentukan lembaga Ombudsman, adalah sejarah yang panjang, meski kata
”ombudsman” berasal dari Swedia, tapi keberadaan istilah ini telah digunakan
hampir di semua negara yang mengadopsi lembaga tersebut. Pendek kata Ombudsman
telah menjadi model dalam membantu memecahkan keresahan masyarakat berkaitan
dengan pelayanan publik. Ombudsman adalah wadah untuk menjembatani kepentingan
rakyat dan kepentingan pemerintah yang seringkali bertolak belakang. Ombudsman
bukanlah pelaksana kekuasaan karena itu wewenang yang dimilikinya hanyalah
mencakup aspek-aspek pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan atau
penyelewengan.
Ombudsman tidak memiliki kepentingan dengan status kekuasaan, juga tidak berada
di dalam pemerintahan, oleh karena itu memiliki kebebasan bertindak dalam
menentukan pengawasan. Satu-satunya kesamaan antara Ombudsman dengan otoritas
pemerintahan adalah misi kepentingannya untuk memberi kesejahteraan, ketertiban
dan keadilan bagi masyarakat.
Melihat realitas tersebut Gubernur DIY mengeluarkan Surat keputusan Gubernur
DIY Nomor 134 tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Ombudman Daerah di
Propinsi DIY. Pendirian Lembaga Ombudsman di daerah mempunyai kepentingan untuk
melakukan pengawasan terhadap birokrasi pemerintahan di tingkat daerah.
Pembentukan Lembaga Ombudsman di daerah sebagai respon atas hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengawasan yang bersifat internal yang
telah ada selama ini.
LOD-DIY sebagai lembaga pengawas eksternal tidak mempunyai hubungan hirarkis
dengan lembaga pemerintahan dan lembaga negara lain di daerah. Kehadiran
LOD-DIY diharapkan mampu memberikan solusi bagi perbaikan penyelenggaraan
pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. LOD-DIY dirancang sebagai
lembaga publik yang dapat memberi akses dan kontrol masyarakat dalam
partisipasi pengawasan kinerja pelayanan publik dan atau dapat memperjuangkan
aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan persoalan masyarakat dengan pemerintahan
daerah.
Fungsi yang diemban oleh LOD-DIY adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan
negara dan pemerintahan daerah serta penegakan hukum untuk menjamin dan
melindungi kepentingan masyarakat agar dapat terselenggara dengan baik
berdasarkan prinsip keadilan, persamaan dan prinsip-prinsip demokrasi.
Sebagai lembaga pengawasan, LOD-DIY merupakan lembaga pengawasan eksternal
nonstruktural yang bersifat mandiri yang tidak memiliki hubungan struktural
dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintah daerah. Artinya, lembaga ini bukan
lembaga struktural, tapi lembaga fungsional yang diberi mandat oleh pemerintah
daerah untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara di daerah,
penyelenggaraan pemerintah daerah dan penyelenggaraan penegakan hukum.
Objek pengawasan LOD-DIY adalah penyimpangan-penyimpangan administrasi
(maladministration) di bidang pelayanan publik yang terjadi dalam
penyelenggaraan negara di daerah, penyelenggaraan pemerintah daerah, dan dalam
penyelenggaraan penegakan hukum. Bentuk-bentuk maladministrasi adalah
penyalahgunaan wewenang atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power),
penyimpangan prosedur, intervensi, pemalsuan/persekongkolan, memperkeruh
perkara dan nyata-nyata berpihak, melalaikan kewajiban, penundaaan pelayanan
berlarut, diskriminasi, dan pengabaian hak-hak masyarakat.
Berangkat dari fungsi tersebut, LOD-DIY dibebankan tugas untuk:
1. Menyebarluaskan pemahaman mengenai kedudukan, fungsi, tugas pokok dan
wewenang Ombudsman Daerah kepada seluruh masyarakat di daerah.
2. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan berbagai lembaga negara,
instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, para ahli dan praktisi dalam rangka
mendorong dan mewujudkan penyelenggaraan negara dan pemerintahan daerah serta
penegakan hukum yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme,
penyalahgunaan kekuasaan/jabatan dan tindakan sewenang-wenang.
3. Melayani keluhan, laporan atau informasi dari masyarakat atas keputusan,
tindakan dan atau perilaku pejabat atau aparatur penyelenggara negara,
pemerintah daerah, atau penegak hukum dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang dirasakan tidak adil, diskriminatif, tidak patut, merugikan
atau bertentangan dengan hukum.
4. Menindaklanjuti keluhan, laporan atau informasi dari masyarakat mengenai
penyimpangan pelaksanaan penyelenggaraan negara, pemerintahan daerah dan
penegakan hukum.
Untuk menjalankan tugasnya tersebut, LOD-DIY diberi wewenang antara lain:
1. Memanggil dan meminta keterangan secara lisan dan atau tertulis dari pihak
pelapor, terlapor dan atau dari pihak lain yang terkait dengan suatu keluhan,
laporan, atau informasi yang disampaikan kepada Ombudsman Daerah.
2. Memeriksa keputusan dan atau dokumen-dokumen lainnya yang ada pada pihak
pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait, untuk mendapatkan kebenaran
laporan, keluhan dan atau informasi.
3. Atas inisiatif sendiri memanggil dan meminta keterangan secara lisan dan
atau tertulis, kepada penyelenggara negara, pemerintah daerah atau penegak
hukum berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran terhadap asas-asas
penyelenggaraan negara, pemerintahan daerah atau penegakan hukum yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan/jabatan
dan tindakan sewenang-wenang.
4. Membuat rekomendasi atau usul-usul dalam rangka penyelesaian masalah antara
pihak pelapor dan pihak terlapor serta pihak-pihak lainnya yang terkait.
5. Mengumumkan hasil temuan dan rekomendasi untuk diketahui oleh masyarakat.