Sentralisasi versus Desentralisasi
Berdasarkan
pemikiran di atas, maka kedepan Indonesia harus melakukan relokasi
kekuasaan dari negara ke unit-unit pemerintahan yang lebih kecil, karena
itu sudah merupakan kehendak jaman. Model sentralistis yang selama
diprektekkan oleh pemerintah tidak dapat lagi dipertahankan.
Alasan-alasannya antara lain:
a. Kelemahan
utama konsep sentralistis adalah karena sangat kaku (rigit) sehingga
sulit berartikulasi secara optimal terhadap dinamika lingkungan. Konsep
sentralisasi sulit mengelola berbagai sumberdaya lokal yang sangat
beragan dan bervariasi, karena konsep ini tidak memiliki instrumen yang
peka terhadap kemajemukan (diversity). Pendekatan pemerintahan dilakukan
dengana asumsi homogenitas wilayah, sehingga akan menimbulkan
kesenjangan dalam berbagai bidang atau aspek (antar wilayah, antar
lapisan dan natar golongan masyarakat).
b. Kebijaksanaan
sentralistis secara langsung maupun tidaklangsung telah membatasi
kreativitas sumberdaya pembangunn. Masalah yang dihadapi saat ini adalah
bagaimana menemukan dan merumuskan format yang tepat atau optimaldari
relokasi kewenangan tersebut. Pada satu sisi, sentralisasi mampu
menawarkan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahanm. Tetapi pada
sisi yang lain relokasi kewenangan yang dijabarkan dalam
bentukkewenangan politik dan administrasi di samping akan menjawab
berbgai kelemahan model sentralistik, juga memiliki kelemahan yang
intensitasnya sangat tergantung kepada kemampuan penegelolaan
kemajemukan yang ada. Konsep atau model yang keliru jelas tidak mampu
menghasilkan sinergi dari berbagai komponen wilayah dan bangsa, tetapi
justru akan mendorong timbulnya perpecahan atau disintegrasi bangsa.
c. Ketidakmampuan
merumuskan model relokasi kewenangan dimaksud mungkin merupakan jawaban
mengapa sejak diundangkannya UU No.5/1974 tentang Pokok Pokok
Pemerintahan di Daerah, tidak pernah diikuti oleh penyusunan PP atau
Peraturan Pememerintah yang mengatur berbagai pasal dalam UU tersebut.
Model dan Proses Desentralisasi. Relokasi kewenangan yang diwujudkan
dalam bentuk pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah
(relokasi/desentralisasi kewenangan politik dan kewenangan administrasi)
merupakan wujud sistem manajemen pemerintahan yang sangat kondusif
terhadap pengembangan dan peningkatan kualitas Kemandirian Lokal.
Model
otonomi yang diamanahkan dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang meletakkan otonomi pada Daerah Tingkat II (Kabupaten dan
Kotamadya) merupakan alternatip sesungguhnya adalah alternatip yang
terbaik dibandingkan dengan berbagai model otonomi yang lainnya,
mengingat model ini lebih mendekatkan birokrasi pemerintahan dengan
masyarakatnya, dan yang disebut sebagai masyarakat lokal hanya ada di
desa dan kabupaten. Model otonomi pada Tingkat II akan memudahkan proses
penyaluran aspirasi masyarakat secara lebih luas dan cepat dan dengan
demikian pemberdayaan dengan jalan partisipasi dapat dengan mudah
dilakukan yang pada gilirannya proses demokratisasi sebagaimana hrapan
reformasi dapat diwujudkan. Namun persoalannya sekarang, masih banyak
daerah, terutama para perangkat pemerintahan belum sepenuhnya memahami
konsep dasar otonomi tersebut. Mereka lebih menekankannya pada sasaran
penguasaan dan pemilikan aset dan sumberdaya, sehingga dengan mudah
menimbulkan pertentangan antar wilayah atau antardaerah. Maka dalam
kaitan ini otonomi daerah masih sangat membutuhkan peranan Tingkat I
sebagai kordinator, pengawas, dan pengarah kegiatan pelaksanaan otonomi
tersebut .Kelemahan sekaligus kekuatan UU No.22/99 terletak pada banyak
Peraturan Pemerintah yang perlu disusun dalam upaya implementasi amanah
UU tersebut. Kualitas semangat reformasi dari penyelenggara negara akan
menentukan apakah hal tersebut akan menjadi kekuatan atau kelemahan,
karena penjabaran dari berbagai pasal kedalam Peraturan Pemerintah
akanmenentukan format sebenarnya dari model otonomi tersebut.
Dalam merumuskan beberapa Peraturan Pemerintah agar format otonomi daerah menjadi lebih relevan maka, bebrapa hal perlu mendapat pertimbangan, yakni: Kualitas Teknostruktur DaerahPengalaman pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang dimiliki oleh sebahagian besar aparat pemerintah di daerah dapat dikatakan sangat minim dan kemungkinan besar tidak mampu melaksanakan otonomi dalam arti yang sebenarnya. Model Petunjuk Pelaksanaan yang dipraktekkan selama Orde Baru telah menjadi budaya sehingga mematikan prakarsa dan kreativitas masyarakat. Demikian pula halnya dengan Kelembagaan masyarakat yang selama masa Orde Baru telah dimandulkan secara sistematis sehingga saat ini tidak ampu lagi melahirkan hasil yang dibutuhkan bagi peningkatan kemandirian wilayah atau daerah.
Dalam merumuskan beberapa Peraturan Pemerintah agar format otonomi daerah menjadi lebih relevan maka, bebrapa hal perlu mendapat pertimbangan, yakni: Kualitas Teknostruktur DaerahPengalaman pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang dimiliki oleh sebahagian besar aparat pemerintah di daerah dapat dikatakan sangat minim dan kemungkinan besar tidak mampu melaksanakan otonomi dalam arti yang sebenarnya. Model Petunjuk Pelaksanaan yang dipraktekkan selama Orde Baru telah menjadi budaya sehingga mematikan prakarsa dan kreativitas masyarakat. Demikian pula halnya dengan Kelembagaan masyarakat yang selama masa Orde Baru telah dimandulkan secara sistematis sehingga saat ini tidak ampu lagi melahirkan hasil yang dibutuhkan bagi peningkatan kemandirian wilayah atau daerah.
Di
samping itu kemampuan menemukan cara pengelolaan sumberdaya lokal
relatif sangat rendah, sehingga akan menghambat pelaksanaan otonomi
apabila tidak memiliki sumberdaya yang memadai. Berdasarkan hasisl
kesilapan daerah yang disebutkan di atas, dikhawatirkan timbulnya usul
pelaksanaan otonomi daerah menjadi tertunda. Perlu dikemukakan bahwa
terdapat kecurigaan di klangan masyarakat bahwa otonomi daerah
sebagimana yang tercantum dalam UU No. 22/1999 hanyalah merupakan upaya
Pemerintah Nasional untuk mengulur waktu, karena memang tidak sepenuhnya
berniat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah.Hal ini juga dipandang
sebagai upaya untuk mempertahankan status quo pola pemerintahan
sentralistik yang menghambat terciptanya iklim demokrasi serta upaya
untuk menghambat transparansi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Bilamana akumulasi masalah tersebut tidak diantisipasi sedini
mungkin dalam model Otonomi Daerah, maka akan bermuara pada konflik
politik yang berkempanjangan karena dianggap tidak sejalan dengan
reformasi.
Mengacu pada hal-hal yang dikemukakan di atas, dan dengan mempertimbangkan bahwa penyusunan UU No. 22/1999 telah mengorbankan sumberdaya yang cukup besar, maka substansi undang-undang tersebut tetap dipertahankan, namun perlu melakukan beberapa penyesuaian di mana istilah daerah yang ada dalam undang-undang tersebut diganti dari kabupaten atau Kotamadya menjadi Propinsi. Dengan kata lain, titik berat pelaksanaan otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat I atau provinsi. Apabila pada saatnya suatu kabupaten atau gabungan beberapa kabupaten tersebut dapat saja ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom baru yang terlepas sama sekali dengan bekas Provinsi induknya. Jika disimak akan terlihatbahwa implementasi model ini akan bermuara pada terbentuknya beberapa puluh daerah otonom, sesuai dengan yang dimaksud dalam UU No.22/99, walaupun dengan menempuh proses yang berbeda. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa model implementasi ini lebih realistic, khususnya bila dilihat dari sisi kemampuan kebanyakana provinsi untuk berotonomi. Implementasi model ini setidaknya akan menghapus kecurigaan terhadap kemungkinan adanya keengganan Pemerintah Nasional untuk nmenyelenggarakan otonomi. Di samping itu, peross pembentukan daerah otonom baru akan dapat berjalan dengan baik karena adanya Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan dan kemampuan ntuk mengarahkan provinsi untukmelaksanakanpemekaran yang dimaksud.Disadri adanya kehawatiran bahwa potensi disintegrasi bangsa akan semakin menguat pada masa otonomi Propinsi diterapkan, Hal ini sebenarnya tidak beralasan mengingat berbagai pertimbangan, misalnya: Secara empiris prima causa disinetgarsi suatubangsa tidak terkait langsung dengan sistem pemerintahan yang dianut, tetapi lebih terkait dengan ketidakadilan. Bubarnya Uni Sovyet, perang yang berkepanjangan di negara-negara Balkan, dan pemisahan diri Bangladesh dari P akistan merupakan bukti dari hal tersebut.Pola karakter kehidupan politik nasional tidak banyak lagi diwarnai oleh politik aliran sebagaimana yang terjadi pada tahun 1950-an, tetapi oleh kepentingan riil, terutama ke konomi.Sentimen ideolog, baik pada tingkat nasional maupun global, tidak lagi mewarnai percaturan politik global. Bahkan terjadi kecenderungan sebaliknya, yaitu integrasi ekonomi regional seperti di Eropa dan Amerika Latin, Afrika, dan berbagai belahan dunia lainnya yang bermuara pada sinergi kekuatan ekonomi regional atas dasar daya saing.Perekembangan manajemen kenegaraan moderen yang lebih mengarah kepada pendekatan kesejahteraan masyarakat luas dan post-modernism.
Mengacu pada hal-hal yang dikemukakan di atas, dan dengan mempertimbangkan bahwa penyusunan UU No. 22/1999 telah mengorbankan sumberdaya yang cukup besar, maka substansi undang-undang tersebut tetap dipertahankan, namun perlu melakukan beberapa penyesuaian di mana istilah daerah yang ada dalam undang-undang tersebut diganti dari kabupaten atau Kotamadya menjadi Propinsi. Dengan kata lain, titik berat pelaksanaan otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat I atau provinsi. Apabila pada saatnya suatu kabupaten atau gabungan beberapa kabupaten tersebut dapat saja ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom baru yang terlepas sama sekali dengan bekas Provinsi induknya. Jika disimak akan terlihatbahwa implementasi model ini akan bermuara pada terbentuknya beberapa puluh daerah otonom, sesuai dengan yang dimaksud dalam UU No.22/99, walaupun dengan menempuh proses yang berbeda. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa model implementasi ini lebih realistic, khususnya bila dilihat dari sisi kemampuan kebanyakana provinsi untuk berotonomi. Implementasi model ini setidaknya akan menghapus kecurigaan terhadap kemungkinan adanya keengganan Pemerintah Nasional untuk nmenyelenggarakan otonomi. Di samping itu, peross pembentukan daerah otonom baru akan dapat berjalan dengan baik karena adanya Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan dan kemampuan ntuk mengarahkan provinsi untukmelaksanakanpemekaran yang dimaksud.Disadri adanya kehawatiran bahwa potensi disintegrasi bangsa akan semakin menguat pada masa otonomi Propinsi diterapkan, Hal ini sebenarnya tidak beralasan mengingat berbagai pertimbangan, misalnya: Secara empiris prima causa disinetgarsi suatubangsa tidak terkait langsung dengan sistem pemerintahan yang dianut, tetapi lebih terkait dengan ketidakadilan. Bubarnya Uni Sovyet, perang yang berkepanjangan di negara-negara Balkan, dan pemisahan diri Bangladesh dari P akistan merupakan bukti dari hal tersebut.Pola karakter kehidupan politik nasional tidak banyak lagi diwarnai oleh politik aliran sebagaimana yang terjadi pada tahun 1950-an, tetapi oleh kepentingan riil, terutama ke konomi.Sentimen ideolog, baik pada tingkat nasional maupun global, tidak lagi mewarnai percaturan politik global. Bahkan terjadi kecenderungan sebaliknya, yaitu integrasi ekonomi regional seperti di Eropa dan Amerika Latin, Afrika, dan berbagai belahan dunia lainnya yang bermuara pada sinergi kekuatan ekonomi regional atas dasar daya saing.Perekembangan manajemen kenegaraan moderen yang lebih mengarah kepada pendekatan kesejahteraan masyarakat luas dan post-modernism.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar